Cuci Darah Mandiri Bisa Jadi Pilihan Bagi Pasien Gagal Ginjal
A
A
A
JAKARTA - Konsultan ginjal dan hipertensi RSPAD dr. Jonny, Sp.PD-KGH, MKes, MM, menyayangkan kebijakan dokter di Indonesia yang pada umumnya langsung menganjurkan pasien gagal ginjal tahap akhir untuk langsung cuci darah. Pasalnya, pasien tidak diberi kesempatan untuk memilih pengobatan yang cocok menurut dirinya sendiri.
"Apakah hemodialisa? Apakah CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) atau yang sering disebut cuci darah mandiri? Apakah melakukan transplantasi ginjal?" tanya dia dalam sebuah seminar di Jakarta, Senin (06/11/2017).
Dia mengatakan, setiap dokter harus memberi arahan, penjelasan dan informasi yang jelas agar pasien bisa menentukan terapi apa yang sesuai dan cocok dengan keinginannya.
Seminar yang digelar oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) bekerjasama dengan Baxter International, sebuah perusahaan global yang bergerak di bidang industri farmasi dan perawatan ginjal mengambil tema “Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan Perawatan CAPD”.
Lebih lanjut dia mengatakan, selain terapi cuci darah dengan mesin, pasien GGK (Gagal Ginjal Kronik) juga bisa melakukan cuci darah mandiri dengan terapi CAPD.
“Metode ini proses cuci darah mandirinya menggunakan membran peritoneum (rongga perut). Caranya, cairan dialisat dimasukan ke dalam rongga peritoneum, terjadi proses penyaringan darah melalui membran peritoneum. Kemudian dialisat yang mengandung produk sampah tubuh dikeluarkan dari rongga peritoneum,” kata dia.
Keuntungan terapi ini, sambung dia, si pasien tidak perlu datang ke rumah sakit, cukup dilakukan di rumah atau kantor. Fungsi ginjal yang tersisa juga bisa bertahan lebih lama, bahkan bagi yang punya rencana untuk cangkok ginjal, perawatan ini sangat cocok dan menjadi pilihan. Dan juga relatif lebih bebas makan buah dan sayur, serta asupan cairan.
"Tidak berhubungan dengan darah, artinya aman tertular hepatitis, HIV dan penyakit infeksi menular lainnya,” ujar dia.
Ketua KPCDI Tony Samosir mengatakan, organisasi yang dipimpinnya sangat konsen melakukan kegiatan edukasi bagi pasien cuci darah. Selain edukasi, KPCDI juga aktif memberi masukan kepada penentu kebijakan publik.
"Hal ini agar kepentingan pasien benar-benar dilindungi,” kata Tony.
"Apakah hemodialisa? Apakah CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) atau yang sering disebut cuci darah mandiri? Apakah melakukan transplantasi ginjal?" tanya dia dalam sebuah seminar di Jakarta, Senin (06/11/2017).
Dia mengatakan, setiap dokter harus memberi arahan, penjelasan dan informasi yang jelas agar pasien bisa menentukan terapi apa yang sesuai dan cocok dengan keinginannya.
Seminar yang digelar oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) bekerjasama dengan Baxter International, sebuah perusahaan global yang bergerak di bidang industri farmasi dan perawatan ginjal mengambil tema “Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan Perawatan CAPD”.
Lebih lanjut dia mengatakan, selain terapi cuci darah dengan mesin, pasien GGK (Gagal Ginjal Kronik) juga bisa melakukan cuci darah mandiri dengan terapi CAPD.
“Metode ini proses cuci darah mandirinya menggunakan membran peritoneum (rongga perut). Caranya, cairan dialisat dimasukan ke dalam rongga peritoneum, terjadi proses penyaringan darah melalui membran peritoneum. Kemudian dialisat yang mengandung produk sampah tubuh dikeluarkan dari rongga peritoneum,” kata dia.
Keuntungan terapi ini, sambung dia, si pasien tidak perlu datang ke rumah sakit, cukup dilakukan di rumah atau kantor. Fungsi ginjal yang tersisa juga bisa bertahan lebih lama, bahkan bagi yang punya rencana untuk cangkok ginjal, perawatan ini sangat cocok dan menjadi pilihan. Dan juga relatif lebih bebas makan buah dan sayur, serta asupan cairan.
"Tidak berhubungan dengan darah, artinya aman tertular hepatitis, HIV dan penyakit infeksi menular lainnya,” ujar dia.
Ketua KPCDI Tony Samosir mengatakan, organisasi yang dipimpinnya sangat konsen melakukan kegiatan edukasi bagi pasien cuci darah. Selain edukasi, KPCDI juga aktif memberi masukan kepada penentu kebijakan publik.
"Hal ini agar kepentingan pasien benar-benar dilindungi,” kata Tony.
(alv)